Sebutkan Raja Raja Eropa Yang Terlibat Dalam Perang Salib

Sebutkan Raja Raja Eropa Yang Terlibat Dalam Perang Salib

Nationalgeographic.co.id—Sejarah Perang Salib ketiga dimulai setelah Salahudin al Ayyubi, atau yang dikenal dengan Saladin merebut kembali Yerusalem dari pasukan salib. Kampanye militer sejarah Perang Salib kembali diserukan oleh Paus dan dipimpin oleh tiga raja Eropa.

Dalam sejarah Perang Salib Ketiga, karena dipimpin oleh tiga raja paling berpengaruh di Eropa, oleh karena itu dikenal juga dengan 'Perang Salib Para Raja' menurut catatan World History Encyclopedia.

Ketiga pemimpin tersebut adalah: Frederick I Barbarossa, Raja Jerman dan Kaisar Romawi Suci (memerintah 1152-1190 M), Philip II dari Prancis (memerintah 1180-1223 M) dan Richard I 'si Hati Singa' dari Inggris (memerintah 1189 -1199 M).

Dalam perjalanannya, memang ada beberapa kemenangan, terutama direbutnya Acre dan pertempuran Arsuf. Tapi terlepas dari itu semua, termasuk silsilah mereka, sejarah Perang Salib Ketiga adalah sebuah kegagalan, Kota Suci bahkan tidak pernah diserang.

Kematian Frederick I BarbarossaFrederick I Barbarossa adalah raja pertama yang melakukan mobilisasi dalam sejarah Perang Salib ketiga, dan dia melakukan perjalanan dengan pasukannya melalui darat melalui Trakia pada musim semi tahun 1190 M.

Sementara itu, Kaisar Bizantium Isaac II Angelos (memerintah 1185-1195 M) sangat khawatir dengan perjalanan paskan salib barat, mengingat saat mereka melewati wilayah Kekaisaran Bizantium, selalu ada banyak kekacauan, perampokan dan pemerkosaan.

Dari sisi lain, orang barat sangat curiga terhadap aliansi baru Kekaisaran Bizantium dengan Saladin, sebuah perasaan yang didasarkan pada beberapa kenyataan.

Kecurigaan tersebut muncul karena Isaac mencoba menghalangi perjalanan Pasukan Salib menuju Timur Tengah. Padahal Isaac hanya tidak ingin pasukan salib membuat banyak kekacauan di wilayah Kekasiaran Bizantium.

Ketika Frederick menduduki Adrianopel di Trakia, Bizantium memang cukup membantu sesama orang Kristen. Namun, Kaisar tidak diragukan lagi merasa lega setelah Jerman masuk ke Anatolia.

Kemudian bencana melanda pada tanggal 10 Juni 1190. Kaisar Romawi Suci tenggelam dalam suatu kecelakaan, jatuh dari kudanya ke (atau menderita serangan jantung saat berenang di) Sungai Saleph di Kilikia selatan masih dalam perjalanan menuju Tanah Suci.

Kematian Frederick, dan kemudian bencana wabah disentri, mengakibatkan sebagian besar pasukannya tewas atau memutuskan untuk pulang dengan susah payah dalam kesedihan.

Perang Salib ketiga sekarang hanya bergantung pada tentara Inggris dan Prancis, sekutu sementara yang tidak terlalu menyukai satu sama lain di saat-saat terbaik.

Meskipun beberapa pasukan Jerman berhasil mencapai Acre di Timur Tengah, hilangnya otoritas dan pengalaman Frederick terbukti signifikan bagi Perang Salib secara keseluruhan.

Karl Friedrich Lessing

Sebagian besar pasukan Salib dari Jerman pasukannya tewas atau memutuskan untuk pulang dengan susah payah dalam kesedihan.

Richard I Membawa Sisilia & SiprusSedangkan Richard I menempuh jalur laut menuju Timur Tengah. Juru kampanye yang berpengalaman, sangat teliti seperti sebelumnya, telah mengerahkan seluruh sumber daya kerajaannya untuk kampanye militer.

Mereka mengumpulkan 100 armada kapal dan 60.000 kuda. Dalam perjalanannya, Richard merebut Messina di Sisilia pada tahun 1190 M.

Kemudian ketika pasukan Inggris ini berkumpul untuk pertama kalinya di pulau itu pada bulan April 1191 M, ada 17.000 tentara yang siap beraksi.

Raja Inggris tahu betul bahwa faktor keberhasilan atau kegagalan untuk kampanye apa pun adalah logistik. Dia mulai memastikan harus memiliki jalur pasokan yang baik dengan merebut Siprus berikutnya.

Secara resmi wilayah itu adalah milik Kekaisaran Bizantium, pulau itu sekarang memiliki pemimpin pemberontak, Isaac Komnenos, yang memproklamirkan dirinya sebagai penguasa independen.

Richard terbukti tak terbendung dan dengan alasan yang agak jinak bahwa penduduk setempat tidak memperlakukan beberapa Pasukan Salib yang terdampar dengan sangat baik, Siprus direbut pada Mei 1191 M.

Penduduk pulau itu dipaksa untuk membayar pajak 50 persen dari semua harta benda untuk lebih meningkatkan pundi-pundi kampanye raja pasukan salib.

Pasukan Salib akan memerintah pulau itu, yang kemudian digunakan sebagai pangkalan pasokan tentara dalam perjalanan mereka ke Timur Tengah. Kuasa mereka di Siprus bertahan sampai Venesia mengambil alih pada tahun 1571 M.

Sementara itu di Prancis, Philip II telah mengumpulkan pasukannya yang terdiri dari 650 ksatria, 1.300 pengawal, dan infanteri dalam jumlah yang lebih besar.

Pasukan ini juga berlayar ke Levant, kali ini berkat kapal-kapal Genoa yang akan membawanya ke Acre. Sejarah Perang Salib Ketiga pasti berkembang menjadi petualangan militer pan-Eropa yang sesungguhnya.

Bibliothèque Nationale de France, Paris

Pertempuran besar pertama dari sejarah Perang Salib ketikga terjadi di Acre, di pantai Kerajaan Yerusalem.

Pengepungan AcrePertempuran besar pertama dari sejarah Perang Salib ketiga terjadi di Acre, di pantai Kerajaan Yerusalem.

Sebenarnya, kota itu telah dikepung selama beberapa waktu oleh pasukan yang dipimpin oleh bangsawan Prancis Guy dari Lusignan, raja yang tersisa dari Kerajaan Yerusalem (memerintah 1186-1192 M).

Namun, Guy sedang berjuang karena dia sekarang menghadapi pasukan yang dikirim oleh Saladin untuk membebaskan kota.

Untungnya bagi penguasa Latin, beberapa pasukan salib segera tiba untuk mendukung, termasuk sisa-sisa pasukan Frederick.

Kemudian ada pasukan Jerman yang dipimpin oleh Duke L eopold dari Austria yang melakukan perjalanan melalui laut, pasukan Prancis yang dipimpin oleh Henry dari Champagne, dan pasukan Richard I dan Filipus II.

Pada awal Juni 1191 M, semua pasukan salib sudah siap dan siap merebut kota.

Pengeboman yang berat dan berkelanjutan menggunakan ketapel diluncurkan tetapi pengepungan yang berlarut-larut akhirnya berhasil. Itu ketika sappers, yang menawarkan insentif uang tunai oleh Richard, merusak tembok benteng kota di sisi darat.

Mesin pengepungan dan reputasi raja Inggris, dan divisi dalam pasukan Saladin sendiri merupakan faktor tambahan dalam kemenangan tersebut.

Sang Berhati Singa, sebagaimana Richard saat itu dikenal berkat keberanian dan kemampuannya dalam peperangan, telah mencapai dalam lima minggu apa yang gagal dilakukan Guy dalam 20 minggu.

Kota itu akhirnya direbut pada 12 Juli 1191 M, dan dengan itu, secara signifikan, 70 kapal, sebagian besar angkatan laut Saladin.

Menurut legenda, Richard sedang sakit pada saat itu, mungkin terkena penyakit hina. Meskipun dia memiliki pengikut yang membawanya dengan tandu sehingga dia dapat menembak ke benteng musuh dengan panah otomatisnya.

Richard kemudian merusak reputasinya sebagai 'raja yang baik' ketika dia memerintahkan 2.500 tahanan untuk dieksekusi.

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

Nationalgeographic.co.id—Selama Perang Salib ketujuh, Pasukan Salib membuat kemajuan yang sangat lambat menghadapi kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Sebagian besar pasukan berbaris di sepanjang Sungai Nil, berbaris di sepanjang tepi sungai.

Kapal-kapal yang dapat membawa perbekalan dan peralatan dalam jumlah besar, ikut berperang melawan angin yang berlawanan.

Pada titik ini, akhir November 1249 M, As-Salih Ayyub meninggal karena penyakitnya. Para perwira Bahris, yang dipimpin oleh komandan mereka Fakhr al-Din, kemudian turun tangan untuk melanjutkan perang melawan Pasukan Salib dengan lancar.

Setelah 32 hari, Pasukan Salib berkemah di seberang kamp Muslim dekat Mansourah, yang dilindungi oleh cabang sungai dan benteng.

Kedua kubu kini menggunakan mesin ketapel besar untuk saling membombardir dengan tembakan artileri. Serangan mendadak dan pemboman tanpa henti terjadi selama enam minggu.

Sejarah Perang Salib ketujuh akhirnya menemui kebuntuan. Raja Louis yang memimpin Pasukan Salib kemudian ditawari harapan hidup oleh beberapa pengkhiatan dari Pasukan Muslim.

Pengkhianat dari Pasukan Muslim memberitahukan, bahwa kamp musuh dapat didekati dari belakang dengan menyeberangi sungai lebih jauh ke hilir.

Pada tanggal 8 Februari 1250 M, Raja Louis mulai bergerak dan sejumlah besar ksatria berkumpul di tempat di sungai yang ditunjukkan oleh pengkhianat Pasukan Muslim.

Meski harus turun dan menyuruh kudanya berenang menyeberang, pasukan ksatria yang maju berhasil mencapai sisi lain.

Kemudian, pemimpin mereka, Robert dari Artois, membuat keputusan bodoh dengan segera menyerang kamp musuh sebelum para ksatria lainnya menyeberangi sungai di belakangnya.

Meskipun Fakhr al-Din terbunuh dalam serangan pertama, keputusan terburu-buru Robert untuk mengejar Pasukan Muslim yang melarikan diri ke kota Mansourah membuktikan kesalahannya yang kedua dan terakhir.

Begitu berada di dalam kota, para ksatria Robert dikepung dan, dipisahkan oleh jalan-jalan sempit, dibantai.

Pasukan Muslim, yang berkumpul kembali setelah serangan awal, kemudian melakukan serangan balik terhadap Raja Louis dan pasukan ksatrianya yang baru saja menyeberangi sungai.

Dalam pertempuran sepanjang sejarah Perang Salib ketujuh yang makin kacau dan berdarah yang terjadi setelahnya, Raja Louis hanya berhasil mempertahankan posisinya sampai bala bantuan tiba dari kamp utama Pasukan Salib di penghujung hari.

Ilustrasi abad ke-14 M tentang Raja Louis IX dari Prancis (memerintah 1226-1270 M) yang memimpin Perang Salib ketujuh.

Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah mundur ke tempat yang aman di Mansourah namun sebagian besar tetap utuh. Selain itu, pada akhir Februari, Sultan baru dan putra as-Salih, al-Mu'azzam Turan Shah telah tiba di Mansourah bersama dengan perbekalan dan bala bantuan penting.

Pasukan Salib, di sisi lain, tidak mempunyai persediaan pasokan sekarang. Hal itu karena kamp mereka telah terputus dari Damietta oleh armada kapal Pasukan Muslim, dan kelaparan serta penyakit segera merajalela di kamp mereka.

Akhirnya, pada tanggal 5 April 1250 M, Raja Louis memerintahkan mundur. Pasukan barat, jumlahnya makin berkurang karena penyakit, kelaparan, dan serangan terus-menerus dari Pasukan Kekaisaran Ayyubiyah.

Dalam waktu dua hari, Pasukan Salib hampir musnah sebagai kekuatan yang efektif. Pasukan Salib yang tersisa, hanya setengah jalan kembali ke Damietta dan lansung menyerah.

Sementara itu, raja Louis dari Prancis, yang menderita disentri parah langsung ditangkap. Louis dibebaskan pada tanggal 6 Mei 1250 M, tetapi hanya setelah pembayaran uang tebusan yang besar untuk dirinya sendiri.

Uang tebusan untuk membebaskan Raja Louis adalah sebesar 400.000 livres tournois untuk sisa pasukannya yang ditangkap, dan penyerahan Damietta yang dikuasai Kristen.

Setidaknya, diperkirakan Raja Louis kehilangan 1,5 juta livre tournoi selama sejarah Perang Salib ketujuh. Jumlah tersebut sekitar 6 kali lipat pendapatannya sebagai Raja Prancis.

Terlepas dari kerugian material, bahaya fisik hingga penangkapannya, Raja Louis IX akan kembali beraksi. Ia akan kembali memimpin Pasukan Salib di akhir masa pemerintahannya yang panjang, ketika ia memimpin Perang Salib kedelapan pada tahun 1270 M.

Raja Louis tidak kembaliSetelah bebas, Rajau Louis tidak kembali ke kampung halamannya dengan rasa malu. Ia tetap memilih tetap tinggal di Timur Tengah selama empat tahun lagi.

Selama waktu itu, dia mengawasi refortifikasi markasnya di Acre, serta benteng di Sidon, Jaffe, dan Kaisarea. Louis juga menciptakan kekuatan baru yang inovatif yang terdiri dari 100 ksatria dan pelengkap panah otomatis.

Tidak seperti para ksatria sebelumnya, yang ditempatkan di kota-kota atau kastil-kastil strategis tertentu, pasukan ini digunakan di mana pun mereka paling dibutuhkan untuk melindungi kepentingan Kerajaan Latin di Timur Tengah.

Menariknya, meskipun Pasukan Salib gagal dalam sejarah Perang Salib ketujuh, mereka berkontribusi besar terhadap jatuhnya Kekaisaran Ayyubiyah di Mesir. Kekaisaran Ayyubiyah ditaklukkan oleh Mamluk pada Mei 1250 M.

Pergantian kekuasaan terjadi ketika kelompok perwira Mamluk membunuh Turan Shah. Terjadilah pertikaian faksi yang sengit selama sepuluh tahun antara para bangsawan Ayyubiyah dan para jenderal militer.

Hingga akhirnya, kaum Mamluk menetapkan diri mereka sebagai penguasa baru di bekas wilayah Kekaisaran Ayyubiyah. Meskipun Aleppo dan Damaskus tetap berada di bawah kendali para pangeran Kekaisaran Ayyubiyah.

78% Daratan di Bumi Jadi Gersang dan Tidak akan Pernah Basah Kembali

tirto.id - Al-Malik al-Nasir Yusuf Ibn Najm al-Din Ayyub Ibn Shahdi Abu’l-Muzaffar Salah al-Din, atau oleh Pasukan Salib dikenal dengan nama Saladin adalah pahlawan terbesar Muslim dalam sejarah Perang Salib (1095-1291). Banyak kronik menyebutkan dirinya adalah sosok bijaksana yang memiliki keberanian luar biasa. Di samping itu, dia juga dikenal sebagai pemimpin politik dan militer yang mumpuni.

Untuk perkara yang disebutkan terakhir, terdapat testimoni yang ditulis oleh Ibn Syaddad—salah seorang hakim militer Saladin yang banyak menulis tentang cerita kegemilangannya dalam Perang Salib—sebagaimana dikutip ulang oleh Carole Hillenbrand dalam Perang Salib: Sudut Pandang Islam (2005), hlm. 219:

“Sebagai seorang panglima dan mujahid agung tentu saja mendapat tempat yang membanggakan. Ia begitu dikenal oleh para prajurit biasa di pasukannya, menciptakan ikatan-ikatan kesetiaan dan solidaritas, dan memperbaiki moral hukum. Dia berjalan melintas di antara seluruh pasukan dari sayap kanan hingga kiri, dengan menciptakan rasa persatuan dan mendorong mereka untuk maju dan berdiri kokoh pada saat yang tepat.”

Dalam pertempuran di lembah Hattin pada 3-4 Juli 1187, Saladin menang telak atas penguasa Yerusalem, Raja Guy de Lusignan. Beberapa bulan setelahnya, tepatnya pada 2 Oktober 1187, Saladin berhasil menaklukkan kota Yerusalem. Semenjak itu, namanya menjadi begitu terkenal sekaligus ditakuti oleh dunia Kristen Eropa.

Pada akhir Oktober 1187, ketika berita tentang kemenangan Saladin di Hattin dan jatuhnya kembali Yerusalem ke tangan tentara Muslim mulai terdengar di Eropa, orang-orang sangat terkejut.

Sebagaimana ditulis David Nicole dalam The Third Crussade 1191: Richard the Lionheart, Saladin and the struggle for Jerusalem (2006), Paus tua, Urban III terkejut dan lemah karena kabar jatuhnya Yerusalem ke tangan tentara Muslim. Ia meninggal karena kesedihan yang mendalam atas yang terjadi di Yerusalem.

Pada 29 Oktober 1187, penggantinya, Paus Gregorius VIII, mengeluarkan seruan terkenalnya yang disebut Bull Audita Tremendi sebagai tanggapan atas jatuhnya kembali Yerussalem di tangan tentara Muslim. Isi dari Bull Audita Tremendi adalah gambaran mengenai kengerian Pertempuran Hattin dan merinci kekejaman yang dilakukan tentara Muslim setelahnya.

Tak hanya itu, dalam seruannya tersebut Paus Gregorius VIII juga menyalahkan kaum Frank atas dosa-dosa yang telah mereka lakukan di negara-negara tentara salib. Ia juga bersikeras bahwa orang Kristen yang tinggal di Eropa juga turut bertanggung jawab atas yang telah terjadi di Yerusalem.

Di seluruh Eropa, orang-orang sangat tersentuh akan maklumat Paus tersebut. Banyak yang tertarik untuk bergabung mengabdikan diri sebagai bagian dari Tentara Salib karena jaminan penebusan dosa yang ada dalam Bull Audita Tremendi.Dari situlah titik balik Perang Salib III atau yang lebih dikenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja.

Merencanakan Serangan Balasan

Perang Salib tak lepas dari kisah tentang dua tokoh sejarah besar yang telah mendominasi jalannya Perang Salib III, yakni Saladin dan Richard I The Lionheart. Sejak akhir abad ke-12, Perang Salib lebih sering digambarkan sebagai duel pribadi antara dua sosok pemimpin militer beda kubu tersebut.

Bahkan, banyak sekali karya-karya lukisan pada abad pertengahan yang menunjukkan Richard I The Lionheart dan Saladin terkunci dalam pertempuran tunggal satu lawan satu. Adegan ini sebenarnya adalah fiksi. Richard dan Saladin tidak pernah benar-benar bertemu secara langsung satu sama lain. Meski demikian, pasukan mereka terlibat dalam beberapa pertempuran selama Perang Salib III berlangsung, tulis Nicholson Helen dan David Nicole dalam God’s Warriors: Crusaders, Saracens and The Battle For Jerusalem (2005).

Perang Salib III mulanya akan dipimpin oleh Frederick I Barbarossa dari Jerman, Philip II Augustus dari Prancis, dan Richard I The Lionheart dari Inggris yang akan melawan Salahhudin Al-ayubi di pihak lawan. Akan tetapi, hanya Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart yang benar-benar sampai ke Yerusalem karena nasib nahas menimpa Raja Frederick I. Dia tewas tenggelam dalam balutan baju zirahnya di sungai Goksu dekat Kastil Silifke di wilayah Selatan Turki.

Selain motif agama, Paus Gregorios VIII juga memiliki motif politik yang kuat di balik seruan Bull Audita Tremendi yang melatarbelakangi ekspedisi Perang Salib III. Motif tersebut menurut Carole Hillenbrand dalam Perang Salib Sudut Pandang Islam, hlm. 32-34 (2005) adalah agar pertengkaran menahun antara Kerajaan Prancis dan Inggris yang melemahkan kekuatan kerajaan Kristen Eropa, bisa segera mereda jika mereka bersatu dalam satu tujuan bersama.

Hal tersebut dalam pandangan Paus Gregorius VIII akan mengalihkan energi perangdua kerajaan yang berselisih itu, sekaligus dapat mengurangi ancaman langsung bagi masyarakat Eropa akibat perang berkepanjangan yang mereka lakukan. Ide Paus ini hanya berhasil dalam waktu singkat. Kedua raja, yakni Raja Philip II Augustus dan Richard I The Lionheart pada kenyataannya hanya mampu menyisihkan perbedaan pendapat dalam rentang waktu beberapa bulan selama berlangsungnya ekspedisi tersebut.

Pada tahun-tahun setelah kemenangan besarnya di Hattin dan Yerusalem pada 1187, kekuatan politik dan militer Saladin mulai menurun. Perpecahan dalam dunia Islam mulai muncul kembali, dan upaya Saladin menaklukkan benteng tentara salib yang tersisa masih menuai kegagalan.

Pada musim dingin 1187–1188, Saladin menyerang pelabuhan tentara salib terakhir di Titus, tetapi kota itu berhasil dipertahankan oleh Conrad dari Montferrat, bangsawan Italia yang baru tiba di Yerusalem.

Tak lama kemudian, Saladin membebaskan Raja Guy de Lusignan yang sebelumnya telah mengambil sumpah darinya untuk tidak kembali memeranginya. Hal ini kelak akan menjadi salah satu keputusan paling mahal yang pernah diambil Saladin. Tak lama setelah dibebaskan, Raja Guy de Lusignan bertemu uskup yang mengataan padanya bahwa sumpah yang diambil kepada orang kafir (baca: Muslim) tidak mengikat bagi orang Kristen.

Pada Agustus 1189 Raja Guy berhasil mengumpulkan beberapa ribu pengikutnya yang masih setia untuk melakukan pengepungan terhadap Kota Acre--salah satu pelabuhan terpenting di pantai Mediterania. Raja Guy menempatkan pasukannya di sebuah bukit rendah yang disebut Gunung Toron, hampir satu mil di sebelah timur Acre (The Third Crusade, hlm. 110).

Infografik Mozaik Kekalahan Saladin di Perang Salib III. tirto.id/Lugas

Serangan cepat dari pasukan Saladin yang jumlahnya lebih banyak bisa saja menghabisi kaum Frank, tapi dia terlalu hati-hati dan mengatur posisi bertahan sekitar enam mil jauhnya ke tenggara Acre. Selama satu setengah tahun berikutnya, pengepungan Acre masih menemui jalan buntu. Kaum Frank berkemah di parit antara tentara Saladin dan garnisun Muslimnya di dalam kota.

Pasukan Salib kemudian terus membanjiri Acre, salah satunya pasukan Conrad de Montferrat yang sering disebut sebagai gelombang pertama kedatangan tentara salib dari Eropa pada Perang Salib III. Meski demikian, kaum Frank tidak dapat menghancurkan tembok kuat yang mengelilingi kota tersebut.

Musim dingin tahun 1189 dan 1190 sangat keras, kekuatan kedua belah pihak--Tentara Salib dan pasukan Muslim—dilemahkan oleh penyakit menular dan kekurangan bahan makanan yang semakin terasa. Meski demikian, kota Acre masih berhasil menahan serangan gencar yang dilakukan oleh gabungan tentara Frank milik Guy dan Conrad de Montferrat.

Pada permulaan tahun 1191, Saladin menerima kabar bahwa Raja Inggris dan Prancis beserta pasukannya tengah dalam perjalanan menuju Acre untuk membantu pengepungan. Pasukan Raja Prancis tiba pada 20 April 1191. Raja Philip II Augustus menghabiskan sebagian besar waktunya untuk membangun strategi pengepungan dan melecehkan para prajurit Muslim yang berada di dalam benteng kota.

Dua bulan kemudian, tepatnya pada 8 Juni 1191, Raja Richard The Lionheart dari Inggris juga tiba dengan 25 kapal untuk membantu Tentara Salib dengan melakukan blokade laut.

Keterampilan taktis dan kemampuan militer Richard The Lionheart membuat perbedaan besar bagi jalannya pengepungan. Hal ini memungkinkannya mengambil alih komando Pasukan Salib. Pada 2 Juli 1191, 200 armada besar kapalnya tiba.

Karena kian terdesak dari darat dan laut, pada 11 Juli 1191 Saladin memutuskan untuk melancarkan serangan penghabisan terhadap lebih dari 50.000 Tentara Salib yang mengepung di luar benteng, namun kegagalan. Akhirnya pada 12 Juli 1191, tepat hari ini 830 tahun silam, Acre jatuh ke tangan Raja Richard I The Lionheart dan Philip II Augustus. Ini adalah kekalahan pertama Saladin dalam pertempuran di Yerusalem sejak dia berkuasa pada Oktober 1187.

Terdapat 10 negara yang pernah menjadi kampiun sepak bola di benua Eropa. Jerman dan Spanyol adalah dua negara tersukses di Kejuaraan Piala Eropa, sama-sama mengumpulkan tiga gelar juara.

Jerman paling sering mencapai di final, yaitu sebanyak enam kali, dengan separuhnya sebagai tim Jerman Barat.

Selanjutnya Perancis dan Italia menyusul di belakang Tim Panser dan skuad Matador dengan torehan dua titel.

Sementara, ada enam negara yang masing-masing mengoleksi satu trofi, yakni Rusia/Uni Soviet, Ceko/Cekoslovakia, Denmark, Yunani, Belanda, serta Portugal.

Selain 10 negara yang menjadi juara, ada tiga negara yang menjejak hingga ke babak final. Mereka adalah Serbia (yang kala itu menjadi bagian Yugoslavia) dua kali mencapai babak final (1960, dan 1968), Belgia (1980,) dan Inggris (2020).

Italia merupakan negara terakhir yang menjadi kampiun Eropa. Gli Azzuri meraih trofi untuk kedua kalinya di EURO 2020 setelah mengalahkan Inggris di partai puncak lewat adu pinalti 3 – 2.

Sumber Data:Union of European Football Associations (UEFA)

Infografik:Albertus Erwin Susanto

Pengolah Data:Dwi Erianto

Editor:Topan Yuniarto

Perang Salib III terjadi pada 1189-1192. Perang ini terkenal dengan sebutan Perang Salib Para Raja karena diikuti oleh raja-raja Eropa. Ilustrasi: Ist

terjadi pada 1189-1192. Perang ini terkenal dengan sebutan “Perang Salib Para Raja” karena diikuti oleh raja-raja

seperti Raja Richard I dari

, Raja Phillip II dari

, dan Raja Frederick I dari Kekaisaran Suci

Di sisi lain, dari pihak Islam dipimpin oleh

yang berhasil menyatukan

di bawah bendera Dinasti Ayyubiah.

Jati Pamungkas, S.Hum, M.A. dalam bukunya berjudul "

" mengungkap Dinasti Ayyubiah berdiri pada tahun 1171 memanfaatkan kelemahan politik Kekhalifahan Fatimiyah. Setelah Khalifah al-Adhid wafat, Shalahuddin al-Ayyubi ketika itu menjadi wazir atau menteri utama pada akhir Kekhalifahan Fatimiyah, memanfaatkan kekacauan politik dengan membubarkan Islam

pada pemerintahan Kekhalifahan Fatimiyah dan menggantinya dengan Islam

Pemerintahan baru bentukan dari Shalahuddin tersebut mengakui Khalifah

sebagai pemimpin Islam. Dengan pengambilan langkah politik tersebut Kekhalifahan Fatimiyah secara resmi telah dibubarkan karena Kekhalifahan Fatimiyah selalu berseberangan dalam pandangan politik dengan Abbasiyah.

Perang Salib III berlangsung selama tiga tahun dengan hasil sama-sama kuat. Maksudnya sebagian tempat dikuasai oleh Islam dan yang lainnya dikuasai oleh pasukan Salib.

Latar belakang terjadinya Perang Salib III adalah jatuhnya Yerusalem pada tahun 1187 karena kalah melawan pasukan Shalahuddin.

Shalahuddin Al Ayyubi dalam mata dunia Barat terkenal dengan nama Saladin. Saladin berasal dari Etnis Kurdi. Karir militernya berkembang pesat ketika mengabdikan diri di dalam pemerintahan Kekhalifahan Fatimiyah yang dilanda krisis politik pada masa pemerintahan Khalifah al-Adhid.

Pada tahun 1169, Shalahuddin diangkat menjadi perdana menteri. Pasca wafatnya Khalifah al-Adhid, Pemerintahan Fatimiyah yang didominasi oleh militer mengambil alih kekuasaan dan menobatkan Shalahuddin yang sebelumnya menjadi perdana menteri sebagai sultan.

Syiah yang menjadi simbol religiositas Kekhalifahan Fathimiah diganti menjadi Suni. Berakhirlah kebesaran dan kejayaan Kekhalifahan Fatimiyah yang mendominasi perpolitikan di dunia Islam dari abad ke-10 hingga pertengahan abad ke-12.

Shalahuddin tidak hanya menjadi sultan di Mesir, namun juga di Syam. Pemerintahannya diberi nama Dinasti Ayyubiah yang diambil dari nama ayahnya.

Keadaan politik di Timur Tengah yang bergejolak karena Yerusalem dikuasai kembali oleh Kristen sejak 1099 membuat Shalahuddin termotivasi untuk merebut Yerusalem.

M.B. Goldstein dalam bukunya berjudul "

(Bloomington: Archway Publishing, 2013) menyebut pengangkatan dirinya menjadi Sultan Dinasti Ayyubiah pada tahun 1174 dimanfaatkan betul oleh Shalahuddin untuk menaklukkan Yerusalem.

Jonathan Phillips dalam bukunya berjudul "

" (New York: Routledge 2014) menambahkan Shalahuddin mempersiapkan secara matang-matang dalam merebut

. "Kerajaan Yerusalem pada tahun 1186 menobatkan Guy Lusignan sebagai Raja Kerajaan Yerusalem," jelas Phillips.

Pelantikan Guy menjadi raja sangat dipermasalahkan sehingga membuat stabilitas politik di Kerajaan Yerusalem menjadi tidak stabil dan rawan gerakan bawah tanah untuk menurunkan Guy dari takhtanya.

Pada tahun 1187, salah satu kesatria pasukan Salib, Reynald, menyerang rombongan orang-orang Islam ketika Kerajaan Yerusalem masih terikat perjanjian damai dengan Shalahuddin.

Penyerangan tersebut diperparah dengan fakta bahwa rombongan tersebut terdapat saudara perempuan Shalahuddin yang diperkosa pada waktu penyerangan.

Peristiwa tersebut dimanfaatkan dengan baik oleh Shalahuddin untuk berperang melawan Kerajaan Yerusalem. Tanpa adanya deklarasi dari paus dan bantuan pasukan Salib di Eropa, Shalahuddin akan dapat dengan mudah merebut kembali Yerusalem.

Offenbar hast du diese Funktion zu schnell genutzt. Du wurdest vorübergehend von der Nutzung dieser Funktion blockiert.

Wenn dies deiner Meinung nach nicht gegen unsere Gemeinschaftsstandards verstößt,

Let’s watch this show on the app!

Scan this QR to download the Vidio app.

Anda mungkin ingin melihat